Jaringan Sobis Sidrap Diduga Dilindungi, Aparat Bungkam, Uang Berputar

SIDRAP SULSEL- Praktik penipuan online atau di Sidrap lebih dikenal sobis, bukan lagi cerita baru. Fenomena ini telah berkembang pesat, menjalar ke berbagai sudut desa hingga kota tanpa ada upaya nyata untuk menertibkannya. Bukan karena para pelaku sulit dilacak, tetapi ada tembok tebal yang tampaknya melindungi mereka dari jerat hukum.

Hasil investigasi menunjukkan bahwa para pelaku bekerja dengan sistem yang sangat rapi dan terstruktur. Di desa, mereka beroperasi dari rumah masing-masing dalam mode senyap, menghindari sorotan publik. Tidak ada suara gaduh atau aktivitas mencurigakan, namun semua warga tahu apa yang terjadi. Anehnya, pihak kepolisian dan aparat terkait pun tampaknya menyadari keberadaan mereka, tetapi memilih untuk diam dan membiarkan bisnis ini terus berjalan.

Di wilayah perkotaan, modus operandi sedikit berbeda. Banyak dari mereka beroperasi dari kos-kosan yang memberikan kebebasan dan keleluasaan lebih dalam menjalankan aksinya.

Pengaruh dan kekuatan finansial yang dimilikinya, bisnis ini seolah menjadi sah dan legal di mata masyarakat. Padahal, di balik itu, ada banyak korban yang kehilangan uang mereka, sementara para pelaku semakin kaya dan berkuasa.

Salah satu lokasi yang paling menarik perhatian adalah Bendoro, sekira 40 kilometer dari ibu kota Sidrap, Pangkajene. Sebuah kampung di Watang Sidenreng yang dikenal sebagai “markas besar” para sobis di Sidrap. Tim investigasi media ini melakukan penyisiran intensif selama hampir sepekan, mencoba mengungkap lebih dalam tentang bagaimana bisnis ini berjalan. Berbagai metode investigatif diterapkan, mulai dari menyamar sebagai petani hingga menjadi pembeli di warung-warung kecil di sekitar lokasi yang diduga menjadi pusat aktivitas sobis.

Dari hasil pengamatan di lapangan, jumlah pekerja yang terlibat dalam bisnis ini bukan lagi hitungan puluhan, tetapi sudah mencapai ratusan orang. Mereka beroperasi di bawah kendali sistem yang tertata dengan baik, memiliki atasan yang mengatur strategi, serta diduga mendapat perlindungan dari pihak-pihak tertentu. Dua sosok yang disebut-sebut sebagai bos besar di kawasan ini memiliki inisial EML dan SKR. Keberadaan mereka bukanlah rahasia bagi warga sekitar, namun tidak ada yang berani berbicara secara terbuka.

Ketakutan warga bukan tanpa alasan. Setiap kali ada yang berani mempertanyakan mengapa aparat diam saja, jawaban yang mereka dapatkan hanyalah angin lalu. Dugaan adanya koneksi kuat antara jaringan sobis dan aparat semakin menguat, dengan indikasi bahwa bisnis ini memiliki perlindungan dari tingkat polsek, polres, bahkan hingga polda. Unit-unit seperti Resmob dan Siber yang seharusnya memiliki kemampuan untuk menindak pun seolah tak berkutik, seakan tangan mereka terikat oleh sesuatu yang lebih besar.

Menjelang lebaran, aktivitas sobis sempat terhenti sementara, memberikan kesan bahwa mereka hanya “beristirahat” sejenak untuk kemudian kembali melanjutkan operasinya setelah libur usai. Kini, perputaran uang dalam bisnis ini kembali berjalan, dengan nilai yang diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Sementara itu, aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas kejahatan ini justru masih tetap diam, pura-pura tidak tahu, dan seolah-olah tak memiliki kewenangan untuk bertindak.

Fenomena ini membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah hukum masih memiliki keberpihakan kepada rakyat? Ataukah hukum hanya berlaku bagi mereka yang tak memiliki kuasa dan uang? Sidrap telah menjadi ladang subur bagi bisnis sobis, di mana pelaku semakin berjaya dan korban terus berjatuhan tanpa ada perlindungan yang nyata. (*).

Loading