CELEBESPLUSONLINE. COM// WAJO SULSEL — Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia kembali menundukkan kepala, mengenang jasa para kiai dan santri yang telah menyalakan api perjuangan kemerdekaan.
Tahun ini, peringatan Hari Santri 2025 mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.” Tema yang mengandung pesan mendalam bahwa kemerdekaan bukan hanya hasil perjuangan di masa lalu, tetapi amanah untuk terus dirawat dengan ilmu, iman, dan akhlak di masa kini.
Peringatan Hari Santri berakar dari Resolusi Jihad yang diserukan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Seruan itu menegaskan kewajiban umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari ancaman penjajahan. Dari situlah lahir gelombang perjuangan yang bukan hanya fisik, tetapi juga spiritual dan intelektual. Santri berjuang tidak semata dengan senjata, melainkan dengan doa, ilmu, dan pengabdian. Mereka menjaga kemerdekaan melalui pendidikan, dakwah, dan moralitas sosial, menjadikan pesantren sebagai benteng nilai-nilai bangsa.
Dari kawasan Timur Indonesia, tepatnya di Sengkang, Kabupaten Wajo, berdiri sebuah pesantren besar yang telah menorehkan sejarah panjang dalam dunia pendidikan Islam: Pondok Pesantren As’adiyah. Pesantren ini didirikan oleh Anregurutta Haji Muhammad As’ad (1907–1952) pada dekade 1930-an. Dalam masa kolonial yang serba terbatas, beliau menghadirkan As’adiyah sebagai oase ilmu dan moralitas di tengah kegersangan spiritual masyarakat.
Di tangan Anregurutta As’ad, pesantren menjadi bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga pusat pembentukan karakter dan kebangsaan. Dari tepi Sungai Walennae, semangat keilmuan As’adiyah mengalir jauh melahirkan ulama, pendidik, dan pemimpin yang menerangi berbagai penjuru Nusantara, dari Sulawesi hingga Maluku, Kalimantan, dan Papua.
Sejarah panjang As’adiyah tidak berhenti pada masa lalu. Hingga hari ini, pesantren tersebut terus melahirkan kader bangsa yang berkiprah di berbagai bidang. Salah satu putra terbaiknya adalah Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A., Menteri Agama Republik Indonesia saat ini.
Beliau adalah sosok yang tumbuh dalam tradisi keilmuan pesantren, memadukan keluasan ilmu tafsir dengan pandangan keislaman yang moderat dan berkemajuan. Kiprahnya menjadi bukti nyata bahwa pesantren seperti As’adiyah mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya alim dalam agama, tetapi juga bijak dalam mengelola kebinekaan dan kebangsaan. Warisan keilmuan yang diwariskan Anregurutta As’ad kini menjelma menjadi energi intelektual bangsa, melintasi ruang politik, pendidikan, dan sosial.
Sebagai santri yang tumbuh dalam tradisi pesantren, beliau membawa semangat keas’adiyahan dalam kebijakan dan langkah kepemimpinannya. Di bawah kepemimpinannya, Kementerian Agama menekankan tiga arah besar:
1. Penguatan moderasi beragama sebagai fondasi kebangsaan,
2. Transformasi pendidikan Islam agar pesantren dan madrasah siap menghadapi era global,
3. Pemberdayaan ekonomi santri dan pengembangan digitalisasi pesantren.
Dalam beberapa tahun terakhir, geliat keilmuan santri kembali tampak melalui kegiatan Musabaqah Qiraatil Kutub Internasional (MQKI) dan Musabaqah Qiraatil Kutub Nasional (MQKN). Ajang ini bukan sekadar lomba baca kitab kuning, melainkan ruang pertemuan intelektual antara tradisi klasik Islam dan tantangan zaman modern.
Melalui MQK, santri As’adiyah dan ribuan santri lainnya dari seluruh Indonesia menunjukkan bahwa kitab kuning masih hidup bukan hanya dibaca, tetapi ditafsirkan, dikontekstualisasi, dan dijadikan pedoman berpikir di era digital. Sukses penyelenggaraan MQKI dan MQKN menjadi simbol bahwa tradisi pesantren bukan milik masa lalu, tetapi bekal masa depan.
Mengawal Indonesia Merdeka bukan sekadar menjaga simbol, tetapi memastikan agar semangat kemerdekaan tetap berjiwa berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan. Santri hari ini dituntut untuk terus