Wajo  

DI BALIK WAJO MARADEKA: MIMPI BESAR ATAU ILUSI POLITIK?

Pasangan H. Andi Rosman dan dr. H. Baso Rahmanuddin melalui program Wajo Maradeka telah menghadirkan visi pembangunan yang tampak ambisius. Meskipun slogan-slogan yang diusung mengandung harapan akan kemajuan, terdapat sejumlah kelemahan yang patut dicermati. Dalam tulisan ini, kita akan mengkritisi beberapa poin kelemahan yang menunjukkan bahwa Wajo Maradeka lebih mirip ilusi politik daripada mimpi besar yang dapat diwujudkan.

1. *Ketidakjelasan dalam Sumber Pendanaan*
Visi dan program besar yang ditawarkan dalam Wajo Maradeka memerlukan anggaran yang substansial, terutama untuk sektor infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Namun, pasangan AR-Rahman tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai sumber pendanaan yang akan digunakan. Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Wajo masih terbatas, dan belum cukup kuat untuk menopang proyek infrastruktur ambisius. Selain itu, ketergantungan pada pinjaman daerah tanpa perencanaan yang matang dapat membahayakan keuangan daerah. Tanpa strategi pendanaan yang berkelanjutan, program ini berisiko menjadi mimpi yang tidak terwujud.

2. *Program Infrastruktur yang Tidak Realistis*
Program Pintas Maradeka diklaim berfokus pada pembangunan infrastruktur dan transportasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, rencana ini tampak tidak realistis karena kurangnya rincian konkret mengenai prioritas infrastruktur dan alokasi anggaran yang efektif. Pengalaman di daerah lain menunjukkan bahwa proyek pembangunan sering memakan waktu lebih lama dari yang direncanakan, dan tanpa perencanaan yang matang, proyek ini bisa terhenti atau tidak memberikan dampak yang diharapkan, terutama di daerah pedesaan yang sering terabaikan.

3. *Modernisasi Pertanian yang Sulit Dicapai*
Program Pertanian Maradeka berjanji untuk memodernisasi sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, tantangan dalam akses teknologi dan pasar tidak terjawab dengan baik. Modernisasi pertanian memerlukan dukungan teknologi yang tepat guna dan akses pasar yang lebih luas, yang tidak dijelaskan secara rinci dalam program ini. Tanpa jaminan akses terhadap pendanaan yang kuat, janji ini tampak lebih sebagai ilusif.

4. *Reformasi Birokrasi yang Hanya Sebatas Janji*
Melalui program Layanan Maradeka, pasangan AR-Rahman mengusung gagasan reformasi birokrasi yang modern dan profesional. Namun, tantangan dalam perubahan budaya kerja dan resistensi internal sering kali menghambat reformasi semacam ini. Infrastruktur digital yang memadai untuk mendukung layanan publik masih minim di banyak wilayah Kabupaten Wajo. Tanpa investasi besar dalam teknologi, janji untuk menyediakan pelayanan publik yang cepat dan efisien mungkin hanya sekadar angan-angan.

5. *Kesenjangan Layanan Kesehatan dan Pendidikan*
Meskipun program Sehat Maradeka dan Manusia Maradeka diklaim bertujuan meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan, program ini terkesan generik dan tidak menjawab masalah mendasar yang ada. Ketimpangan layanan kesehatan di daerah terpencil dan kualitas pendidikan yang tidak merata menunjukkan bahwa program ini masih jauh dari harapan. Tanpa langkah konkret untuk memastikan akses dan kualitas layanan bagi seluruh masyarakat, janji-janji ini berisiko menjadi sia-sia.

6. *Keadilan Ekologis Tanpa Perencanaan Konkret*
Visi terkait Keadilan Ekologis terlihat menjanjikan, tetapi tanpa perencanaan yang jelas, program ini terkesan lebih sebagai slogan politik. Bagaimana pasangan ini akan menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan? Edukasi lingkungan yang kurang bagi masyarakat juga menjadi masalah. Tanpa keterlibatan masyarakat dalam menjaga lingkungan, visi ini berpotensi menjadi kosong dan tidak berdaya.

7. *Visi yang Terlalu Umum dan Ambisius*
Secara keseluruhan, visi pasangan AR-Rahman tampak sangat ambisius dengan banyak program besar yang disajikan. Namun, ketidakjelasan prioritas program dan ketergantungan pada sumber eksternal tanpa rencana kontingensi yang kuat mengkhawatirkan. Banyak program yang memerlukan dukungan dari pemerintah pusat atau investor luar berisiko gagal direalisasikan jika dana yang diharapkan tidak terealisasi.

Kelemahan utama dari visi dan program Wajo Maradeka terletak pada ketidakjelasan sumber pendanaan, ketidakrealistisan dalam perencanaan infrastruktur, tantangan dalam reformasi birokrasi, dan kurangnya strategi konkret untuk mengatasi kesenjangan layanan kesehatan dan pendidikan. Program ini lebih terlihat seperti kumpulan janji politik tanpa perencanaan matang, berisiko gagal direalisasikan tanpa langkah-langkah konkret yang diambil. Akhir kata, meski harapan akan perubahan positif selalu ada, masyarakat Wajo akan tetap kritis dan mempertanyakan apakah Wajo Maradeka benar-benar sebuah mimpi besar atau hanya ilusi politik belaka.

*Silakan terus menebar janji manis! Pada akhirnya, gagasan “Merdeka” dalam Wajo Maradeka bisa berbalik menjadi “Wajo Maddareke”.*